Saturday, May 23, 2009
cerdas saja tidak cukup
Dini dan Doni baru saja lulus dari universitas. Doni mengambil penelitian tentang jamur, sedang Dini memilih bakteri. Keduanya sama-sama bekerja keras sampai rela menginap berbulan-bulan di laboratorium mikrobiologi untuk menyelesaikan penelitiannya. Disamping pekerja keras, keduanya adalah mahasiswa pintar, bedanya prestasi akademis Dini jauh lebih menonjol dibanding Doni. Dini adalah mahasiswa dengan prestasi akademis yang sangat cemerlang, masih ditambah segudang prestasi non akademis yang tak kalah meyakinkan. Predikat cum laude dan segepok piagam serta sertifikat yang dimilikinya membuat hampir semua teman sekampus yakin Dini akan melangkah pasti menuju dunia kerja, jauh meninggalkan Doni yang prestasinya tak begitu menonjol.

Namun kenyataan berbicara lain. Hanya dalam waktu kurang dari satu bulan Doni diterima di sebuah pabrik negatif film. Dini baru diterima di sebuah Bank 6 bulan kemudian. Bukan itu saja, Doni masih terus mendapat tawaran kerja dari beberapa perusahaan yang pernah dilamarnya. Hal yang tak pernah dialami Dini.

Mengapa?


Dini memang lebih pintar dari Doni, tetapi Dini tak memiliki sebuah ketrampilan yang dimiliki Doni. Yaitu ketrampilan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki!.
Dini sekedar cerdas saja, tapi tak tahu cara memanfaatkan kemampuan akademisnya yang luar biasa. Ibarat pelari cepat, Dini hanya mampu memenangkan kejuaraan lari bila diselenggarakan di stadion khusus untuk lari. Namun bila harus bertanding lari di alam bebas, Dini akan kalah. Meskipun larinya sangat cepat, Dini hanya tahu cara berlari di jalan raya. Sama sekali tak terpikirkan untuk lari melewati jalan pintas, menerobos gang-gang kecil, menyeberang sungai, melintasi sawah agar sampai ke tujuan lebih cepat. Akibatnya Dini dengan mudah dikalahkan oleh pelari-pelari yang kecepatannya jauh di bawah dirinya.

Berbeda dengan Dini, Doni tak hanya mengandalkan informasi lowongan kerja yang ada di kampus dan di koran-koran. Doni dengan seksama mempelajari perusahaan-perusahaan yang dia perkirakan membutuhkan keahliannya. Pabrik negatif film yang ngeri melihat serangan jamur pada gulungan negatif filmnya; pabrik kertas yang kebingungan saat gulungan kertasnya putus-putus karena ditumbuhi jamur; produsen gandum yang ingin gudangnya bebas jamur; produsen makanan yang ingin makanannya bebas bakteri dan jamur; sebuah museum lukisan di Singapura yang ingin melindungi koleksinya dari serangan jamur; bahkan industri petrokimia yang sangat antusias ingin merekrut Doni setelah dikirimi presentasi tentang pengolahan limbah menggunakan mikrobia yang memakan biaya murah dan prosesnya lebih cepat dibanding cara konvensional.


Doni mampu mengoptimalkan penerapan keahlian yang dimilikinya sehingga mendapat respon positif dari banyak perusahaan. Ketrampilan menggunakan kecerdasan adalah kuncinya. Cerdas saja tidak cukup, harus dilengkapi juga dengan usaha memperluas wawasan dan melatih kemampuan melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang agar kemampuan akademis dapat diterapkan di dunia nyata (c-45 bandung)

Diposting oleh undil di 6/15/2006 09:10:00 PM

saya senag sekali membaca tulisan tulisan di blog ini..supaya teman2 juga bisa mengunjungi n membaca banyak tulisan yg bermanfaat lebih baik liat ja blognya..
pasti suka duniashinichi.blogspot.com

[ Baca Selengkapnya...]
posted by Nanda @ 6:29 AM   0 comments
Wednesday, April 8, 2009
Kalau kau ingin dicintai, cintailah orang lain dan jadilah orang yang dapat dicintai. -Benjamin Franklin-





“Bagaimana hubungan kamu sama cewek itu, Yan?!”


“Sudahtidak usah dipikir lagi. Ingat cinta kalau tidak dikejar Ia tidak akan

datang sendiri dan cinta hanya bisa dimiliki sekali. Jika terlambat
hempaslah sudah. Kalau begitu kamu sudah bilang belum kalau kamu itu…,
ujar kawanku lagi suatu siang menggantung

pertanyaannya di langit-langit warung tenda makan disaat ia ingin
mentraktir aku makan gratis di sebuah warung tenda.




Dengan cekatan kawanku itu menanyakan hubunganku dengan seseorang—yang pernah aku beritahu sebelumnya kepadanya.




Aku hanya tersenyum sipu. Malu-malu kucing untuk menjawabnya. Merah dadu wajahku berubah saat itu. Terlebih ekor mata minusku masih menjajaki daftar menu pesanan yang sudah ada di tangan untuk aku pesan.



Lho, kok diam! Berarti masih dong sama, Dia!” godanya lagi.




Aku semakin mati kutu. Ibarat aku main catur aku sudah kena skak dari kawanku itu! Aku kalah dalam permainan. Tak bisa berbohong. Apalagi untuk menghindar dari pertanyaannya.




lucu memang!


Tapi itulah yang terjadi!



Aku semakin tak bisa berkutik lagi untuk mengatakan yang semestinya tidak aku katakan kepada kawanku itu.



***



Ya,
membicarakan orang terdekat bagiku sama saja membicarakan tentang
anugerah Tuhan—yang bernama cinta. Cinta. Ya, cinta memang tak pernah
habis untuk diperbincangkan. Di mana pun, kapan pun dan bagaimana pun
bentuk rupa cinta itu selalu ada di sana.

Tumbuh subur di setiap hati para pecintanya. Ibarat air zam-zam yang
tak pernah kering walau sering digunakan oleh umat manusia di belahan
dunia. Terus mengalir dan tak lekang oleh waktu.

Begitu
juga aku jika membicarakan cinta seperti aku menceritakan drama tragis
hidup sebuah hikayat sepasang kekasih. Sepasang anak manusia yang
menanam rindu berat—yang berakhir dengan lagu sedih setiap para pecinta
yang mendengarnya. Sebuah hikayat kisah-kasih antara Qais dan Laila.

Sebuah kisah tragis sepasang anak manusia yang begitu memendam gelora asmara dan berakhir dengan kepiluan yang meraja. Tumpah ruah dengan penuh keharuan.



Begitu juga aku terhadap orang yang menurutku sangat istimewa. Dia-lah kekasih yang tak pernah dianggap.






Ya,
Dia-lah orang—yang sudah aku kenal setahun lalu yang telah banyak
menambal lubang di hati ini yang telah bocor dikarenakan
ketidaktahuanku terhadap cinta sesungguhnya. Dia-lah kekasih yang tak
pernah dianggap itu.






Bukan
itu saja bahkan pernah aku lupakan dalam diriku saat ini. Karena aku
tak mau terlalu berharap Dia mau mencintaiku. Begitu juga aku. Aku tak
ingin menyakiti hatinya bila nanti aku terlalu lebih dekat dengannya
dan akhirnya aku hanya bisa melukai hatinya atas ketidakberanian untuk
mengatakan yang sejujurnya. Bahwa aku sangat mencintainya. ...




***




Memang kedengarannya
sangat sentimentil bahkan melankolis. Entahlah, atau karena suasananya
hingga aku larut di dalamnya. Atau, jangan-jangan aku ini tipe-tipe
yang termasuk kategori pria romantis—dan yang sering dicari-cari oleh
kaum Hawa. Entahlah, tapi aku rasa seromatis apa pun lelaki bila tak
ada seorang yang patut dicintai itu percuma saja. Sebaliknya betapa pun
cantik paras rupa seorang wanita tanpa pendamping hidup layaknya perahu
tanpa nahkodanya. Terombang-ambing di tengah buritan. Hempas dihantam
riak ombak. Halnya, seperti yang dikatakan kawanku siang itu. Yang
memang benar adanya.



”Ingat
cinta kalau tidak dikejar Ia tidak akan datang sendiri dan cinta hanya
bisa dimiliki sekali. Jika terlambat hempaslah sudah.”



Hmm…Ternyata itu memang benar adanya.




Halnya
ketika aku ingin mencoba menjalin sebuah hubungan bernama penyatuan dua
hati dengan ciptaan Tuhan yang bernama makhluk Tuhan yang paling lembut
hatinya.



Ya, lagi-lagi Dia-lah orangnya. Dia-lah kekasih yang tak pernah dianggapnya oleh aku itu. Sayangnya disaat aku ingin melakukan sesuatu yang dianggap legal oleh agama tiba-tiba onak dan duri menghalangi jalanku.




Aku tersendat.




Terseok-seok.


Melangkah dengan tak pasti.



Dan itu tak pernah aku ketahui sebelumnya.

Hingga
aku terus berupaya mengejarnya. Tapi lagi-lagi aku tak mampu untuk
menghindari onak dan duri itu. Karena, onak dan duri itu tak lain
adalah ketidaksetujuan kakak-kakak perempuanku untuk aku memiliki orang
yang selama setahun ini aku kenal itu.


Aku yang mendengar itu lagi-lagi tak bisa berkutik. Hanya bisa pasrah apa yang dikatakan oleh orang-orang terdekatku. Halnya seperti aku terkena skak dalam permainan catur. Tak bisa membela diriku. Apalagi mendengarkan alasanku.



Akhirnya,
aku pun tahu kenapa mereka tak menyetujuiku. Karena faktor perbedaan
usialah yang—begitu amat dianggap penting bagi mereka. Hingga mereka
memberikan alasan seperti itu kepadaku. Walau bagiku masalah usia tak
penting bagiku saat ini. Namun aku juga tak mau egois dengan apa yang
dikatakan oleh mereka, orang-orang terdekatku. Bukankah mereka juga
saudara-saudara kandungku. Toh, biar bagaimana pun aku masih
membutuhkan mereka ketika nanti aku mengakhiri masa lajangku. Dan tentu
saja bukan dengannya. Dengan orang sangat istimewa selama setahun aku
kenal. Namun walau pun begitu aku pun sudah senang mengenal cinta Dia.
Cinta yang pernah Dia torehkan dalam hatiku dengan kebaikannya serta ketulusannya mengenal diriku lebih dekat.




Oh tuhan tolonglah aku/Janganlah kau biarkan diriku/Jatuh cinta kepadanya.
Sebab andai itu terjadi/Akan ada hati yang terluka/Tuhan tolong diriku. (Tuhan Tolong—Derby).

(ni cerpen bukan nanda yang buat tp nanda ambil dari milis pmbaca asma nadia)

[ Baca Selengkapnya...]
posted by Nanda @ 8:00 AM   0 comments
Saturday, April 4, 2009
SENYUM KAMPANYE
Pada pemilu tahun ini, Ning Ayu menjadi caleg dari sebuah partai baru. Sebagai seorang perawan yang sudah berkepala empat, kampanye dirinya sebagai caleg akan dimanfaatkan pula untuk mendapatkan belahan jiwa.

Maka, kampanye baginya harus serius dibanding kampanye yang dilakukan caleg-caleg lain. Agar sukses, Ning Ayu merasa perlu meminta bantuan paranormal meskipun ia sarjana ekonomi. Kebetulan, di daerahnya ada seorang paranormal, Eyang Bowo, yang dikenal luas memiliki kemampuan supernatural seperti ilmu pelet massal.

Ning Ayu teringat cerita mistik tentang riwayat asal-usul ilmu pelet massal yang kini dimiliki Eyang Bowo. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, ilmu pelet massal sangat hebat karena bisa digunakan untuk menebar pesona sehingga banyak rakyat akan jatuh cinta dan bahkan tergila-gila.

Konon, menurut cerita dari mulut ke mulut, raja-raja di Jawa dan kerabatnya mewarisi ilmu pelet massal dari Ken Arok. Siapa saja yang memiliki ilmu pelet massal pasti akan menjadi penguasa. Banyak orang Jawa percaya bahwa ilmu pelet massal memang selalu hebat sepanjang zaman karena dibuat oleh Ratu Laut Selatan yang dipercaya menguasai alam gaib.

Ilmu pelet massal pertama kali diberikan oleh Ratu Laut Selatan kepada Ken Arok untuk membangun kerajaan besar di Jawa. Eyang Bowo dipercaya memiliki ilmu pelet massal. Tapi, karena Eyang Bowo tidak berminat menjadi penguasa, lantas ia menjadi paranormal. Kemudian, setiap menjelang pilkades, pilkada, pemilu, dan pilpres, banyak orang mendatangi Eyang Bowo untuk meminta berkah ilmu pelet massal. ***

Siang itu, Ning Ayu mendatangi rumah Eyang Bowo yang berada di sebuah kampung di lereng gunung. Ning Ayu sengaja datang sendirian agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Baginya, meminta bantuan paranormal harus dirahasiakan karena menyangkut urusan politik dan urusan jodoh. Setibanya di rumah Eyang Bowo, hati Ning Ayu sangat lega.

Di sana tidak ada tamu lain yang datang dengan tujuan yang sama seperti dirinya. Ning Ayu menduga, banyak caleg yang datang ke rumah Eyang Bowo pada malam hari agar tidak tepergok lawan politiknya. ”Saya sowan kemari mau minta tolong kepada Eyang Bowo. Tolong beri saya restu dan jimat ilmu pelet massal agar semua rakyat memilih saya dan ada salah satu pria baikbaik yang bersedia menikahi saya, ” tutur Ning Ayu setelah memperkenalkan dirinya sebagai caleg dan masih lajang.

Eyang Bowo duduk bersila di atas karpet hitam di ruang tamu rumahnya yang berlantai tanah dan berdinding kayu kuno. Eyang Bowo berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala hitam. Ia tampak sangat berwibawa sebagaimana umumnya penampilan paranormal. Eyang Bowo menatap wajah Ning Ayu seksama. Laki-laki tua itu sekilas tampak terpesona.

menundukkan wajah ketika mata Eyang Bowo menatapnya tajam-tajam. Rasanya takut bertatapan dengan laki-laki tua yang sakti berilmu pelet massal yang sudah terkenal itu. ”Kamu hanya butuh satu modal untuk menarik dukungan banyak rakyat dan menarik hati seorang pria, ” ujar Eyang sambil tetap menatap tajam-tajam wajah sang tamu.

Entah pikiran dan perasaan apa yang sedang berlintasan di dalam kepala dan dada laki-laki tua itu. Sesekali napas laki-laki tua itu ditarik panjang-panjang, seperti ada perasaan tertentu yang mengganjal di dalam rongga dadanya. ”Modal apa yang harus saya sediakan untuk bisa menang dan mendapatkan jodoh, Eyang?” tanya Ning Ayu tak sabar.

”Tersenyum lebar, itulah modalmu. Jadi, mulai sekarang kamu harus selalu tersenyum lebar kepada semua orang. ” Ning Ayu tiba-tiba seperti mendapatkan teguran keras sebab selama ini dirinya memang cenderung pendiam dan pemalu dan tak suka memperlihatkan senyuman lebar. Sikap pendiam dan pemalu yang sejak kecil dimiliki Ning Ayu bisa jadi karena dua gigi besar yang agak menonjol.

Jika Ning Ayu tersenyum, dua buah gigi besar itu akan terlihat makin menonjol sehingga di mata siapapun yang memandangnya akan mendapatkan kesan sama: Ning Ayu memang bergigi tonggos. Sebagaimana umumnya perempuan bergigi tonggos memang selalu bersikap pendiam dan pemalu, jarang tersenyum kepada siapapun.

”Percayalah, kalau kamu tersenyum lebar kepada semua orang, akan membuat mereka terpesona dan kemudian bersedia memilihmu. Di antara mereka pasti akan ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu lalu mengajak menikah.

”Tiba-tiba Ning Ayu mengangkat wajahnya sambil tersenyum lebar kepada Eyang Bowo. Sesaat keduanya berpandangan dan sama-sama tersenyum lebar. ”Ya, tersenyumlah yang lebar seperti ini kepada semua orang. Pasti kamu akan berhasil meraih suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik. Sekarang silakan pulang. Aku mau istirahat sebentar. Biasanya mulai sore hingga menjelang fajar banyak tamu berdatangan. ”

Ning Ayu segera meletakkan sebuah amplop berisi selembar uang seratus ribu rupiah di hadapan Eyang Bowo. Kemudian menjabat tangan laki-laki tua yang masih tampak perkasa itu. ***

Sepanjang perjalanan dari rumah Eyang, Ning Ayu selalu tersenyum. Ingin dirinya mematuhi perintah Eyang Bowo, meski hatinya masih saja menyimpan rasa malu gara-gara bergigi tonggos. Betapa dirinya menyadari pasti akan terlihat lebih jelas tonggosnya kalau sedang tersenyum lebarlebar. Tapi, demi cita-citanya meraih suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik, Ning Ayu akan selalu tersenyum lebar kepada siapapun.

Setibanya di rumah, karena terus menerus tersenyum lebarlebar, Ning Ayu mendapat teguran ibunya. ”Kamu jangan terlalu mengumbar senyuman seperti itu. ” Teguran ibunya itu ditanggapi Ning Ayu dengan tersenyum lebar. ”Modal saya satu-satunya untuk menarik hati rakyat adalah senyuman, Bu. Terus terang, tadi saya barusan bertemu Eyang Bowo. Beliau menyarankan agar saya selalu tersenyum kepada semua orang kalau ingin memperoleh suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik, ” tuturnya jujur.

Ning Ayu memang ingin selalu bersikap jujur kepada ibunya. Ibunya juga selalu berkata jujur kepadanya. ”Ya, senyuman memang bisa menjadi modal kampanye yang paling hebat. Tapi, rasanya kamu tidak perlu terlalu mengumbar senyuman kepada semua orang. ” Ning Ayu tersipu.

”Ibu pasti ingin mengatakan bahwa saya adalah gadis tonggos, bukan?” Ibunya mengangguk. ”Ya, kenyataannya kamu memang bergigi tonggos, dan karena itu jangan mengumbar senyuman kepada semua orang. Kalau memang kamu harus tersenyum, tersenyumlah sekilas saja agar lebih menarik. Jangan biarkan banyak orang bebas memperhatikan gigimu yang tonggos itu, ”tutur ibunya.

Sebagai orangtua, ibunya sedikit kecewa memiliki anak gadis bergigi tonggos. Kalau boleh memilih, tentu akan jauh lebih senang punya anak gadis bergigi apik sehingga jika tersenyum akan terlihat sangat manis. Ibunya paling tidak suka melihatnya tersenyum lebar-lebar seolah-olah sengaja mau memamerkan giginya yang tonggos itu.

”Demi meraih kemenangan pemilu, saya akan selalu tersenyum lebar kepada semua orang, sebagaimana yang telah disarankan oleh Eyang Bowo. ” Ning Ayu bersikeras untuk mengabaikan nasihat ibunya. Lalu, ibunya bersikap masa bodoh. Terserah Ning Ayu untuk selalu tersenyum lebar kepada semua orang, kalau memang itu dianggap sebagai strategi jitu untuk menarik simpati banyak rakyat dan mencari jodoh.

Ning Ayu kemudian mendatangi percetakan terdekat untuk mencetak gambarnya berukuran besar-besar yang akan dipasang sebagai spanduk dan baliho di sejumlah ruang publik dalam rangka kampanye pemilu. Ning Ayu sengaja memilih salah satu fotonya yang paling tampak ceria dengan ekspresi tersenyum lebar-lebar.

Untuk mencetak gambarnya yang besar-besar itu, Ning Ayu rela berutang kepada bank dengan agunan sertifikat rumah yang masih atas nama ibunya. Ibunya terpaksa mendukungnya agar tidak terus-menerus menjadi pengangguran dan perawan tua. Biasanya, seorang ibu akan rela berkorban demi kesuksesan anaknya.

Ning Ayu adalah putri tunggal sehingga ibunya sudah lama ingin punya anak mantu dan punya cucu. Sepekan kemudian, gambargambar Ning Ayu yang tersenyum lebar-lebar itu sudah terpampang sebagai spanduk dan baliho di banyak tempat terbuka. Setiap ada warga yang memandang gambar Ning Ayu pasti akan tersenyum geli, seperti melihat badut yang lucu.

Lalu, beberapa hari kemudian, gambar caleg-caleg lain bermunculan, bersaing dengan gambar Ning Ayu. Anehnya, semua gambar caleg lain juga lucu-lucu karena memperlihatkan senyuman lebarlebar seperti sengaja berlombalomba unjuk gigi. Setiap sore, Ning Ayu sengaja berkeliling kota dengan mengendarai sepeda motor dan memakai helm berkaca gelap.

Ning Ayu ingin mengetahui reaksi warga terhadap gambarnya dan gambar-gambar caleg lain yang terpajang di sejumlah ruang publik. Di dekat perempatan jalan, ketika lampu merah menyala, Ning Ayu menghentikan sepeda motornya. Di sudut perempatan itu ada sekelompok pemuda sedang berdiskusi tentang gambargambar caleg yang dipajang sebagai baliho dan spanduk.

Ada yang berkata keras memuji-muji gambar Ning Ayu yang dianggap sebagai caleg bergigi paling tonggos. ”Pokoknya, Ning Ayu yang paling lucu. Setiap melihat gambarnya, aku pasti selalu geli. Pernah aku tertawa sendirian di rumah gara-gara teringat gambar Ning Ayu. Lalu orangtua dan saudaraku kaget dan mengira aku mulai gila. Lucu sekali. ”

”Kabarnya Ning Ayu masih lajang, ” kata salah seorang pemuda. ”Ya, Ning Ayu memang masih lajang. Memangnya kamu mau menjadi suaminya?”timpal pemuda yang lain. ”Ya, kalau Ning Ayu berhasil meraih suara terbanyak, aku mau menikah dengannya!” ”Ya, rasanya pasti menyenangkan jika bisa menikah dengan anggota wakil rakyat yang bergaji besar dan mendapat banyak sekali tunjangan dan berbagai fasilitas dari negara.

”Ning Ayu menahan tawa mendengar kata-kata pemuda-pemuda yang sedang membincangkan tentang dirinya. Andai saja Ning Ayu tidak memakai helm berkaca gelap, mereka pasti melihatnya dan bisa jadi akan tertawa bersama karena orang yang sedang diperbincangkan ternyata ikut mendengarkannya.

Sehabis pemilu, Ning Ayu dirundung kecewa karena gagal meraih suara terbanyak. Meski demikian, Ning Ayu tetap selalu tersenyum kepada semua orang. Baginya, senyuman harus selalu diumbar untuk berkampanye bagi dirinya agar segera dipilih oleh seorang pria untuk menjadi istri. Bertahun-tahun Ning Ayu selalu tersenyum lebar kepada semua orang.

Ketika ibunya sakit, Ning Ayu tetap tersenyum lebar kepada semua tetangga yang membesuk. Ketika ibunya wafat, Ning Ayu bahkan tetap saja tersenyum lebar-lebar kepada semua pelayat. ”Rasanya ada yang tak beres dengan Ning Ayu, deh. Ibunya wafat kok malah tersenyum-senyum saja, ” bisik seorang tetangga kepada tetangga yang lain, sepulang melayat.

”Ya, betul. Ning Ayu memang tampak aneh. Jangan-jangan Ning Ayu sudah gila sehingga selalu tersenyum lebar pada saat sedang berduka cita. ” ”Kasihan sekali Ning Ayu, kalau terus menerus tersenyum lebar. . .

[ Baca Selengkapnya...]
posted by Nanda @ 4:27 PM   0 comments
 


Previous Post
Archives
Shoutbox



LIVE SUPPORT


   Yahoo! Messenger:

CS1:  zarra_samiya

CS2:  adji_hwzy

CS3:  gigiemc

CS4:  spinxsasak

Links
Cairo
72 - 50 C
Jakarta
24 - 29 C
Bali
86 - 78 C
Mataram
85 - 76 C
Kalimantan
83 - 73 C
Tegal
83 - 73 C
Sumber : Resna weather
RESNA