Wednesday, April 8, 2009 |
|
Kalau kau ingin dicintai, cintailah orang lain dan jadilah orang yang dapat dicintai. -Benjamin Franklin-
“Bagaimana hubungan kamu sama cewek itu, Yan?!”
“Sudahtidak usah dipikir lagi. Ingat cinta kalau tidak dikejar Ia tidak akan
datang sendiri dan cinta hanya bisa dimiliki sekali. Jika terlambat hempaslah sudah. Kalau begitu kamu sudah bilang belum kalau kamu itu…, ujar kawanku lagi suatu siang menggantung
pertanyaannya di langit-langit warung tenda makan disaat ia ingin mentraktir aku makan gratis di sebuah warung tenda.
Dengan cekatan kawanku itu menanyakan hubunganku dengan seseorang—yang pernah aku beritahu sebelumnya kepadanya.
Aku hanya tersenyum sipu. Malu-malu kucing untuk menjawabnya. Merah dadu wajahku berubah saat itu. Terlebih ekor mata minusku masih menjajaki daftar menu pesanan yang sudah ada di tangan untuk aku pesan.
Lho, kok diam! Berarti masih dong sama, Dia!” godanya lagi.
Aku semakin mati kutu. Ibarat aku main catur aku sudah kena skak dari kawanku itu! Aku kalah dalam permainan. Tak bisa berbohong. Apalagi untuk menghindar dari pertanyaannya.
lucu memang!
Tapi itulah yang terjadi!
Aku semakin tak bisa berkutik lagi untuk mengatakan yang semestinya tidak aku katakan kepada kawanku itu.
***
Ya, membicarakan orang terdekat bagiku sama saja membicarakan tentang anugerah Tuhan—yang bernama cinta. Cinta. Ya, cinta memang tak pernah habis untuk diperbincangkan. Di mana pun, kapan pun dan bagaimana pun bentuk rupa cinta itu selalu ada di sana.
Tumbuh subur di setiap hati para pecintanya. Ibarat air zam-zam yang tak pernah kering walau sering digunakan oleh umat manusia di belahan dunia. Terus mengalir dan tak lekang oleh waktu.
Begitu juga aku jika membicarakan cinta seperti aku menceritakan drama tragis hidup sebuah hikayat sepasang kekasih. Sepasang anak manusia yang menanam rindu berat—yang berakhir dengan lagu sedih setiap para pecinta yang mendengarnya. Sebuah hikayat kisah-kasih antara Qais dan Laila.
Sebuah kisah tragis sepasang anak manusia yang begitu memendam gelora asmara dan berakhir dengan kepiluan yang meraja. Tumpah ruah dengan penuh keharuan.
Begitu juga aku terhadap orang yang menurutku sangat istimewa. Dia-lah kekasih yang tak pernah dianggap.
Ya, Dia-lah orang—yang sudah aku kenal setahun lalu yang telah banyak menambal lubang di hati ini yang telah bocor dikarenakan ketidaktahuanku terhadap cinta sesungguhnya. Dia-lah kekasih yang tak pernah dianggap itu.
Bukan itu saja bahkan pernah aku lupakan dalam diriku saat ini. Karena aku tak mau terlalu berharap Dia mau mencintaiku. Begitu juga aku. Aku tak ingin menyakiti hatinya bila nanti aku terlalu lebih dekat dengannya dan akhirnya aku hanya bisa melukai hatinya atas ketidakberanian untuk mengatakan yang sejujurnya. Bahwa aku sangat mencintainya. ...
***
Memang kedengarannya sangat sentimentil bahkan melankolis. Entahlah, atau karena suasananya hingga aku larut di dalamnya. Atau, jangan-jangan aku ini tipe-tipe yang termasuk kategori pria romantis—dan yang sering dicari-cari oleh kaum Hawa. Entahlah, tapi aku rasa seromatis apa pun lelaki bila tak ada seorang yang patut dicintai itu percuma saja. Sebaliknya betapa pun cantik paras rupa seorang wanita tanpa pendamping hidup layaknya perahu tanpa nahkodanya. Terombang-ambing di tengah buritan. Hempas dihantam riak ombak. Halnya, seperti yang dikatakan kawanku siang itu. Yang memang benar adanya.
”Ingat cinta kalau tidak dikejar Ia tidak akan datang sendiri dan cinta hanya bisa dimiliki sekali. Jika terlambat hempaslah sudah.”
Hmm…Ternyata itu memang benar adanya.
Halnya ketika aku ingin mencoba menjalin sebuah hubungan bernama penyatuan dua hati dengan ciptaan Tuhan yang bernama makhluk Tuhan yang paling lembut hatinya.
Ya, lagi-lagi Dia-lah orangnya. Dia-lah kekasih yang tak pernah dianggapnya oleh aku itu. Sayangnya disaat aku ingin melakukan sesuatu yang dianggap legal oleh agama tiba-tiba onak dan duri menghalangi jalanku.
Aku tersendat.
Terseok-seok.
Melangkah dengan tak pasti.
Dan itu tak pernah aku ketahui sebelumnya.
Hingga aku terus berupaya mengejarnya. Tapi lagi-lagi aku tak mampu untuk menghindari onak dan duri itu. Karena, onak dan duri itu tak lain adalah ketidaksetujuan kakak-kakak perempuanku untuk aku memiliki orang yang selama setahun ini aku kenal itu.
Aku yang mendengar itu lagi-lagi tak bisa berkutik. Hanya bisa pasrah apa yang dikatakan oleh orang-orang terdekatku. Halnya seperti aku terkena skak dalam permainan catur. Tak bisa membela diriku. Apalagi mendengarkan alasanku.
Akhirnya, aku pun tahu kenapa mereka tak menyetujuiku. Karena faktor perbedaan usialah yang—begitu amat dianggap penting bagi mereka. Hingga mereka memberikan alasan seperti itu kepadaku. Walau bagiku masalah usia tak penting bagiku saat ini. Namun aku juga tak mau egois dengan apa yang dikatakan oleh mereka, orang-orang terdekatku. Bukankah mereka juga saudara-saudara kandungku. Toh, biar bagaimana pun aku masih membutuhkan mereka ketika nanti aku mengakhiri masa lajangku. Dan tentu saja bukan dengannya. Dengan orang sangat istimewa selama setahun aku kenal. Namun walau pun begitu aku pun sudah senang mengenal cinta Dia. Cinta yang pernah Dia torehkan dalam hatiku dengan kebaikannya serta ketulusannya mengenal diriku lebih dekat.
Oh tuhan tolonglah aku/Janganlah kau biarkan diriku/Jatuh cinta kepadanya. Sebab andai itu terjadi/Akan ada hati yang terluka/Tuhan tolong diriku. (Tuhan Tolong—Derby).
(ni cerpen bukan nanda yang buat tp nanda ambil dari milis pmbaca asma nadia)
|
posted by Nanda @ 8:00 AM |
|
|
|
|
|
Post a Comment